BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Dilihat dari segi Agama dan
Budaya yang masing – masing memiliki keeratan satu sama lain,
sering kali banyak di salah artikan oleh orang – orang yang belum
memahami bagaimana menempatkan posisi Agama dan posisi Budaya pada
suatu kehidupan.
Penulis
masih sering menyaksikan adanya segelintir masyarakat yang mencampur
adukkan nilai – nilai Agama dengan nilai – nilai Budaya yang
padahal kedua hal tersebut tentu saja tidak dapat seratus persen
disamakan, bahkan mungkin berlawanan. Demi terjaganya esistensi dan
kesucian nilai – nilai agama sekaligus memberi pengertian, disini
penulis hendak mengulas mengenai Apa itu Agama dan Apa itu Budaya,
yang tersusun berbentuk makalah dengan judul “Agama dan Budaya”.
Penulis berharap apa yang diulas, nanti dapat menjadi paduan pembaca
dalam mengaplikasikan serta dapat membandingkan antara Agama dan
Budaya.
1.2
Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini
adalah untuk memenuhi tangung jawab sebagai mahasiswa STKIP Dharma
Wacana Metro dalam mata kuliah Agama Islam.
Namun, seiring dalam proses
pembuatan makalah ini saya menyadari bahwa betapa pentingnya
mengetahui hubungan antara Agama dan masyarakat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Agama Dan Masyarakat
Masyarakat adalah suatu sistem
sosial yang menghasilkan kebudayaan (Soerjono Soekanto, 1983).
Sedangkan agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem
atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama
Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut.
Sedangkan Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia,
Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia
berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di
tahun 2000, kira-kira 86,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia
adalah pemeluk Islam, 5,7% Protestan, 3% Katolik, 1,8% Hindu, dan
3,4% kepercayaan lainnya.
Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa
“tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan
mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan
kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”.
Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama,
yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Dengan banyaknya agama maupun
aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering
kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia
memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun
golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah
menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.
Berdasar sejarah, kaum pendatang
telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan kultur di
dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab,
dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa
perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia.
Berdasarkan Penjelasan Atas
Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama pasal 1, “Agama-agama yang dipeluk oleh
penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
Khong Hu Cu (Confusius)”.
v Islam :
Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia,
dengan 88% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam.
Mayoritas Muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia seperti di
Jawa dan Sumatera. Masuknya agama islam ke Indonesia melalui
perdagangan.
v Hindu :
Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama
Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang
kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai,
Mataram dan Majapahit.
v Budha :
Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar
abad keenam masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat
dengan sejarah Hindu.
v Kristen
Katolik : Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada
bagian pertama abad ketujuh di Sumatera Utara. Dan pada abad ke-14
dan ke-15 telah ada umat Katolik di Sumatera Selatan. Kristen Katolik
tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian
diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah.
v Kristen
Protestan : Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa
kolonial Belanda (VOC), pada sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang
mengutuk paham Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah
penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang dengan
sangat pesat di abad ke-20, yang ditandai oleh kedatangan para
misionaris dari Eopa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di
wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda.
v
Konghucu : Agama Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang dibawa
oleh para pedagang Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad
ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara. Berbeda
dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitik beratkan pada
kepercayaan dan praktik yang individual.
B.
Fungsi-Fungsi Agama
Agama bukanlah suatu entitas
independen yang berdiri sendiri. Agama terdiri dari berbagai dimensi
yang merupakan satu kesatuan. Masing-masingnya tidak dapat berdiri
tanpa yang lain. seorang ilmuwan barat menguraikan agama ke dalam
lima dimensi komitmen. Seseorang kemudian dapat diklasifikasikan
menjadi seorang penganut agama tertentu dengan adanya perilaku dan
keyakinan yang merupakan wujud komitmennya. Ketidakutuhan seseorang
dalam menjalankan lima dimensi komitmen ini menjadikannya
religiusitasnya tidak dapat diakui secara utuh. Kelimanya terdiri
dari perbuatan, perkataan, keyakinan, dan sikap yang melambangkan
(lambang=simbol) kepatuhan (=komitmen) pada ajaran agama. Agama
mengajarkan tentang apa yang benar dan yang salah, serta apa yang
baik dan yang buruk.
Agama berasal dari Supra Ultimate
Being, bukan dari kebudayaan yang diciptakan oleh seorang atau
sejumlah orang. Agama yang benar tidak dirumuskan oleh manusia.
Manusia hanya dapat merumuskan kebajikan atau kebijakan, bukan
kebenaran. Kebenaran hanyalah berasal dari yang benar yang mengetahui
segala sesuatu yang tercipta, yaitu Sang Pencipta itu sendiri. Dan
apa yang ada dalam agama selalu berujung pada tujuan yang ideal.
Ajaran agama berhulu pada kebenaran dan bermuara pada keselamatan.
Ajaran yang ada dalam agama memuat berbagai hal yang harus dilakukan
oleh manusia dan tentang hal-hal yang harus dihindarkan. Kepatuhan
pada ajaran agama ini akan menghasilkan kondisi ideal.
Mengapa
ada yang Takut pada Agama?
Mereka yang sekuler berusaha
untuk memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Mereka yang marxis
sama sekali melarang agama. Mengapa mereka melakukan hal-hal
tersebut? Kemungkinan besarnya adalah karena kebanyakan dari mereka
sama sekali kehilangan petunjuk tentang tuntunan apa yang datang dari
Tuhan. Entah mereka dibutakan oleh minimnya informasi yang mereka
dapatkan, atau mereka memang menutup diri dari segala hal yang
berhubungan dengan Tuhan.
Alasan yang seringkali mereka
kemukakan adalah agama memicu perbedaan. Perbedaan tersebut
menimbulkan konflik. Mereka memiliki orientasi yang terlalu besar
pada pemenuhan kebutuhan untuk bersenang-senang, sehingga mereka
tidak mau mematuhi ajaran agama yang melarang mereka melakukan hal
yang menurutnya menghalangi kesenangan mereka, dan mereka
merasionalisasikan perbuatan irasional mereka itu dengan justifikasi
sosial-intelektual. Mereka menganggap segi intelektual ataupun sosial
memiliki nilai keberhargaan yang lebih. Akibatnya, mereka menutup
indera penangkap informasi yang mereka miliki dan hanya mengandalkan
intelektualitas yang serba terbatas.
Mereka memahami dunia dalam batas
rasio saja. Logika yang mereka miliki begitu terbatasnya, hingga
abstraksi realita yang bersifat supra-rasional tidak mereka akui. Dan
hasilnya, mereka terpenjara dalam realitas yang serba empiri. Semua
harus terukur dan terhitung. Walaupun mereka sampai sekarang masih
belum memahami banyaknya fungsi alam yang bekerja dalam mekanisme
supra rasional, keterbatasan kerangka berpikir yang mereka miliki
menegasikan semua hal yang tidak dapat ditangkap secara inderawi.
Padahal, pembatasan diri dalam
realita yang hanya bersifat empiri hanya akan membatasi potensi
manusia itu sendiri. Dan hal ini menegasikan tujuan hidup yang selama
ini diagungkan para penganut realita rasio-saja, yaitu aktualisasi
diri dan segala potensinya.
Agama, dengan sandaran yang kuat
pada realitas supra rasional, membebaskan manusia untuk mengambil
segala hal yang terbaik yang dapat dihasilkannya dalam hidup.
Semua-apakah hal itu bersifat empiri-terukur, maupun yang belum dapat
diukur. Empirisme bukanlah suatu hal yang ditolak agama. Agama yang
benar, yang bersifat universal, mencakup segi intelektual yang luas,
yang diantaranya adalah empirisme. Agama tidak mereduksi
intelektualitas manusia dengan membatasi kuantitas maupun kualitas
suatu idea. Agama yang benar, memberi petunjuk pada manusia tentang
bagaimana potensi manusia dapat dikembangkan dengan sebesar-besarnya.
Dan sejarah telah membuktikan hal tersebut.
Kesalahan yang dibuat para
penilai agama-lah yang kemudian menyebabkan realita ajaran ideal ini
menjadi terlihat buruk. Beberapa peristiwa sejarah yang menonjol
mereka identikan sebagai kesalahan karena agama. Karena keyakinan
pada ajaran agama. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan adalah justru
karena jauhnya orang dari ajaran agama. Kerusakan itu timbul saat
agama-yang mengajarkan kemuliaan- disalahgunakan oleh manusia
pelaksananya untuk mencapai tujuan yang terlepas dari ajaran agama
itu sendiri, terlepas dari pelaksanaan keseluruhan dimensinya.
C.
Pelembagaan Agama
Sebenarnya apa yang dimaksud
dengan agama? Kami mengurapamakan sebagai sebuah telepon. Jika
manusia adalah suatu pesawat telepon, maka agama adalah media
perantara seperti kabel telepon untuk dapat menghubungkan pesawat
telepon kita dengan Telkom atau dalam hal ini Tuhan. Lembaga agama
adalah suatu organisasi, yang disahkan oleh pemerintah dan berjalan
menurut keyakinan yang dianut oleh masing-masing agama. Penduduk
Indonesia pada umumnya telah menjadi penganut formal salah satu dari
lima agama resmi yang diakui pemerintah. Lembaga-lembaga keagamaan
patut bersyukur atas kenyataan itu. Namun nampaknya belum bisa
berbangga. Perpindahan penganut agama suku ke salah satu agama resmi
itu banyak yang tidak murni.
Sejarah mencatat bahwa tidak
jarang terjadi peralihan sebab terpaksa. Pemaksaan terjadi melalui
“perselingkuhan” antara lembaga agama dengan lembaga kekuasaan.
Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh ketentraman
sedangkan lembaga agama membutuhkan penganut atau pengikut. Kerjasama
(atau lebih tepat disebut saling memanfaatkan) itu terjadi sejak
dahulu kala. Para penyiar agama sering membonceng pada suatu
kekuasaan (kebetulan menjadi penganut agama tersebut) yang mengadakan
invansi ke daerah lain. Penduduk daerah atau negara yang baru
ditaklukkan itu dipaksa (suka atau tidak suka) menjadi penganut agama
penguasa baru.
Kasus-kasus itu tidak hanya
terjadi di Indonesia atau Asia dan Afrika pada umumnya tetapi juga
terjadi di Eropa pada saat agama monoteis mulai diperkenalkan. Di
Indonesia “tradisi” saling memanfaatkan berlanjut pada zaman orde
Baru.Pemerintah orde baru tidak mengenal penganut di luar lima agama
resmi. Inilah pemaksaan tahap kedua. Penganut di luar lima agama
resmi, termasuk penganut agama suku, terpaksa memilih salah satu dari
lima agama resmi versi pemerintah. Namun ternyata masalah belum
selesai. Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut suatu agama
tetapi hanya sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian
terhadap kehidupan keberagaan di Indonesia sangat besar. Para
penganut yang formalitas itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih
banyak mempraktekkan ajaran agam suku, yang dianut sebelumnya,
daripada agama barunya. Pra rohaniwan agama monoteis, umumnya
mempunyai sikap bersebrangan dengan prak keagamaan demikian. Lagi
pula pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran.
Berbagai cara telah dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan,
misalnya pemberlakukan siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya
tidak terlalu efektif. Upacara-upacara yang bernuansa agama suku
bukannya semakin berkurang tetapi kelihatannya semakin marak di
mana-mana terutama di desadesa.
Demi pariwisata yang mendatangkan
banyak uang bagi para pelaku pariwisata, maka upacarav-upacara adat
yang notabene adalah upacara agama suku mulai dihidupkan di
daerah-daerah. Upacara-upacara agama sukuyang selama ini ditekan dan
dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan tumbuhan yang
mendapat siraman air dan pupuk yang segar. Anehnya sebab bukan hanya
orang yang masih tinggal di kampung yang menyambut angin segar itu
dengan antusias tetapi ternyata orang yang lama tinggal di kotapun
menyambutnya dengan semangat membara. Bahkan di kota-kotapun sering
ditemukan praktek hidup yang sebenarnya berakar dalam agama suku.
Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim sebagai hari baik
untuk melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin menarik sebab
mereka itu pada umumnya merupakan pemeluk yang “ fanatik” dari
salah satu agama monoteis bahkan pejabat atau pimpinan agama.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kaitan agama dengan masyarakat
banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan
sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi
rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan
kesadaran akan maut menimbulkan relegi, dan sila Ketuhanan Yang Maha
Esa sampai pada pengalaman agamanya para tasauf.
Bukti di atas sampai pada
pendapat bahwa agama merupakan tempat mencari makna hidup yang final
dan ultimate. Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya
merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya,
dan kembali kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana
pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial, dan
individu dengan masyarakat seharusnyalah tidak bersifat antagonis.
B.
Saran
Dengan dibuat nya makalah ini
saya mengharapkan kepada pembaca agar bisa memahami dan dapat
menerangkan hubungan antara agama dan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar